Jumat, 25 November 2011

PENDIDIKAN BUKAN KOMODITAS
Tak susah melukiskan sekolah kami. Karena mungkin sekolah kami adalah salah satu dari ribuan sekolah miskin seantero Indonesia. Kami kekurangan guru dan sebagian besar siswa SD Muhammadiyah ke sekolah memakai sandal. Tak punya seragam dan bahkan tak punya P3K. Sekolah kami tak pernah dikunjungi pejabat manapun dan bisa dibilang tak layak pakai´. Ini adalah sepenggalan bagian dari novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata.Antusiasme, optimisme, daya belajar, dan cita-cita hidup untuk berbagi menjadi pesan moral yang kuat dalam buku ini. Buku ini diangkat dari kisah nyata perjuangan 10 anak di SD Gantong di Belitung. (Hirata, Andrea ; Laskar Pelangi, 2005)
Namun bukan perjuangan gigih mereka yang harus kita perhatikan di sini. Kisah ini merupakan sebuah kisah nyata yang merepresentasikan satu dari begitu banyaknya jumlah sekolah-sekolah tak layak pakai di negara yang kita cintai ini, di negara yang begitu lantang dan bangganya menyatakan bahwa 1 dari 5 bagian APBN negara didedikasikan ke dunia pendidikan dengan tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sungguh ironis ketika hal itu terus dikumandangkan sementara di lain waktu dunia pendidikan terus digerogoti oleh paham komersialisasi pendidikan. Dunia pendidikan Indonesia mulai dilirik para petinggi-petinggi negara sebagai ladang ternak yang bisa diperah habis-habisan.
Rakyat kecil yang punya mimpi untuk maju dengan pendidikan dianggap sebagai binatang ternak yang siap diperah hingga kering.Kastanisasi PendidikanMeminjam pernyataan Ernest Renan, filsuf Perancis abad ke-19, yang menyatakan bahwa pendidikan menciptakan pengetahuan bersama yang menjadi dasar seluruh tindakan bernegara sehingga kesatuan bangsa dapat diwujudkan berdasar prinsip kesetaraan untuk mencapai kemajuan bersama.Namun prinsip kesetaraan yang menjadi cita-cita pendidikan di Indonesia ini telah menguap. 65 tahun kemerdekaan Indonesia masih belum dapat mengubah sejarah di mana hanya orang-orang yang mempunyai uang yang dapat menikmati pendidikan yang pantas. Jika pada jaman kolonial dulu kita mengingat pendidikan hanya diperuntukkan bagi kalangan priyayi, di jaman sekarangpun pendidikan hanya bisa dinikmati oleh mereka yang punya cukup uang. Hal ini diperparah ketika pendidikan terus digerogoti oleh paham komersialisasi. Pemerintah mungkin sudah merasa tidak mampu untuk mengurus pendidikan hingga hampir semua sektor pendidikan mulai diserahkan ke pihak swasta untuk dikelola. Dan jika ini belum terdengar buruk, bahkan sekolah-sekolah negeri sudah mulai terorientasi untuk mendapat untung sebesar-besarnya ± dan ini tidak terkecuali Perguruan TinggiNegeri.
Contoh paling nyata saat ini adalah tren Sekolah Berstandar Internasioanl atau SBI. Mungkin SBI atau Sekolah Berstandar Internasional terdengar keren di telinga masyarakat awam.Namun pada faktanya sekolah-sekolah SBI ini mendapat porsi anggaran lebih banyak daripada sekolah-sekolah nasional yang notabene lebih membutuhkan biaya untuk perbaikan infrastrukturnya. Pemerintah berdalih dengan menginternasionalisasikan sekolah-sekolah di Indonesia akan membuat pelajar Indonesia siap untuk berhadapan dengan dunia internasional. Dan untuk mencapai itu semua tentu saja membutuhkan biaya pembangunan fasilitas serta pengajar dengan tingkat internasional pula. Ini belum diperparah dengan kemungkinan adanya perbedaan kasta antara murid-murid di SBI dan murid di sekolah bertaraf nasional di lingkungan masyarakat nantinya.
Terlebih dengan isu mengenai kastanisasi pendidikan dengan membagi 2 dunia pendidikan, yaitu jalur formal mandiri (baca : orang-orang kaya) dan jalur formal standar (baca : orang-orang tidak mampu).Dalam hal ini, pemerintah berdalih bahwa pada jalur formal mandiri akan disediakan beasiswa bagi siswa yang kurang mampu agar dapat menuntut ilmu pada jalur ini. Pemerintah sendiri menyatakan bahwa setidaknya akan ada lima persen siswa miskin yang bersekolah di setiap sekolah yang menyelenggarakan jalur formal mandiri. Mungkin tak dapat dipungkiri bahwa banyak sekali kelemahan dari sistem ini. Perlu dipertanyakan apakah mengkotak-kotakkan pendidikan menurut tingkat finansial individu adalah hal yang bijak sementara pemerintah dengan lantang mengumandangkan kesetaraan pendidikan untuk seluruh anak bangsa. Jadi di mana letak pendidikan pro rakyat ketika semua fakta mengerucut kepada fakta bahwa pendidikan di Indonesia ± sama seperti jaman kolonial ± diperuntukkan spesial untuk kalangan berada?
Komersialisasi PendidikanDalam UU RI nomor 20 tahun 2003 pasal 4 disebutkan bahwa ³pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa ³ dan pasal 5 juga menyebutkan, ³setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperolehpendidikan yang bermutu ³, dan juga diperkuat lagi dengan pasal 11, bahwa ³pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranyapendidikan yang bermutu bagi setiap warga tanpa dikriminasi´
Segala tata hukum yang indah ini langsung sirna jika kita melihat langsung apa yang sebenarnya terjadi di masyarakat. Fakta menyatakan semakin banyak siswa yang mengalami putus sekolah karena tidak dapat memenuhi administrasi sekolah karena kurangnya biaya. Sebagai contoh, sebanyak 12.490 anak di Kota Lubuklinggau, Sumatera Selatan, hingga akhir September 2010 tercatat mengalami putus sekolah. Mereka terdiri atas peserta Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sebanyak 7.673 anak meliputi usia 0 ± 6 tahun. Selanjutnya tingkat SD/MI sebanyak 1.665 anak dengan usia 7-15 tahun. Sedangkan tingkat SMP sebanyak 1.371 anak dan untuk tingkat SMA/SMK sebanyak 981 anak, ditambah angka buta aksara sebanyak 800 orang. Anak-anak ini mengalami putus sekolah karena faktor ekonomi, di mana untuk angka putus sekolah pada tingkat SD/MI kebanyakan berhenti di kelas 4,5 dan 6.
Namun komitmen pemerintah mengenai pendidikan yang mencerdaskan seluruh bangsa perlu dipertanyakan. Terlebih ketika pemerintah saat ini seperti melepaskan tanggung jawabnya dan menyerahkannya kepada pihak swasta yang notabene punya skala prioritas untuk mencari untung sebesar-besarnya.Ini terbukti dengan kebijakan otonomi kampus yang mengarahkan Perguruan TinggiNegeri (PTN) berubah statusnya menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN) atau Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang akan berakibat pupusnya mitos masyarakat bahwa Perguruan TinggiNegeri (PTN) merupakan tempat pendidikan bermutu tinggi dan berbiaya murah serta terjangkau kantong mahasiswa dari seluruh lapisan masyarakat.Seiring dengan status baru Perguruan TinggiNegeri (PTN) sebagai Perguruan Tinggi Badan Hukum MilikNegara (PT BHMN) atau Badan Hukum Pendidikan (BHP) ada indikasi-indikasi kuat bakal tumbuh suburnya kapitalisme di Perguruan TinggiNegeri (PTN), sebagaimana yang sudah lama terjadi di sejumlah PTN di Indonesia, seperti ITB, UI, IPB, USU, UPI, dan bahkan UGM yang dikenal sebagai Kampus Kerakyatan. Sehingga muncul komentar bahwa fenomena penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia sebagai suatu ³industri´ pendidikan tinggi yang berusaha untuk memproleh profit sebanyak-banyaknya, sehingga kapitalisme mendapat tempat untuk tumbuh dan berakar kuat di lembaga pendidikan tinggi kita dengan modus klasik ³KOMERSIALISASI PENDIDIKAN´ Dengan kenyataan seperti ini, maka siswa-siswi yang akan menghadapi Ujian Akhir akan kembali diperhadapkan kepada masalah yang akan menentukan masa depan hidupnya, yaitu mendapatkan Perguruan Tinggi yang berkualitas namun punya harga yang masuk akal bagi mereka.Namun kapitalisme Perguruan Tinggi tentu saja akan menjadi masalah utama bagi mereka. Maka tidak heran jika presentase siswa SMA atau sederajatnya yang masuk ke Perguruan Tinggi turun sangat jauh bahkan hanya mencapai 3% dari jumlah seharusnya.
Akibat dari tumbuh dan mengakarnya kapitalisme, PTN dan PTS akan selalu menyambut dengan baik para calon mahasiswa yang punya ³modal´ untuk berani masuk ke Perguruan Tinggi. Telah terjadi pergeseran skala prioritas untuk masuk ke Perguruan Tinggi dari segi kualitas atau kemampuan anak yang seharusnya menjadi prioritas utama menjadi faktor finansial sebagai faktor terutama. Dengan kata lain sejenius apapun seorang murid jika tidak mempunyai kemampuan finansial yang mencukupi, maka ia tidak akan pernah mendapat kesempatan merasakan perkuliahan. Walaupun ada sejumlah beasiswa yang katanya dapat membantu orang-orang tidak mampu tapi ternyata jumlahnya sama sekali tidak sebanding dengan kebutuhan perkuliahan. Sehingga itu semua hanya terlihat sebagai usaha para kapitalis dan pemerintah agar terlihat peduli. Tetapi sebaliknya, asal seorang murid punya uang yang banyak, perguruan tinggi manapun siap menampungnya baik dengan dalih jalur swadana atau bahkan lewat jalur belakang yang ilegal.
Fenomena ini mulai menjadi virus yang merambah ke perguruan-perguruan tinggi di Indonesia. Komitmen para petinggi yang seharusnya memperjuangkan pendidikan untuk semua bangsa Indonesia pun mulai meluntur. Apakah stigma bahwa orang-orang kurang mampu tidak bisa mendapatkan pendidikan yang baik tidak akan pernah berubah?
Diskriminasi yang terus menerus melekat di negara inibelum menghilang setelah 65 tahun kemerdekaan. Rencana privatisasi kampus berarti pemerintah akan mengurangi anggaran pendidikan. Kampus harus membiayai dirinya sendiri. Alasannya, banyak perguruan tinggi yang sudah maju hingga patut dilepaskan pemerintah. Selama kontrol dari mahasiswa dan masyarakat tidak berfungsi, tidak tertutup kemungkinan kampus akan menaikkan SPP tanpa banyak protes. Maka para mahasiswa-mahasiswa dengan tingkat finansial akan semakin tereliminasi dan pada akhirnya perkuliahan hanya bisa dinikmati oleh mereka yang punya modal.Kurikulum dan peraturan-peraturan lainnya akan semakin otoriter dipaksakan kepada mahasiswa mengingat bahwa kaum kapitalis yang akan menguasai wilayah kampus.Intervensi pemodal ke dalam kampus makin besar, didesak oleh kebutuhan kampus untuk membiayai dirinya. Tidak heran jika ini juga mungkin nantinya akan berdampak kepada berkurangnya segala aktivitas mahasiswa dan matinya organisasi di dalam mahasiswa karena arus dana yang akan menyempit dengan sendirinya dari pihak pengelola kampus. Kampus akan semakin jauh dari fungsinya sebagai lembaga pendidikan berubah menjadi industri pendidikan yang komersial, semata-mata berfungsi sebagai pabrik bagi "bahan baku" tenaga kerja yang terampil. Pendidikan saat ini sedang menjadi produk yang dijual dan hanya orang-orang yang kaya yang bisa mengkonsumsinya.
Apapun alasannya, untuk mengedepankan atau mengutamakan kapitalisme dalam dunia pendidikan pasti akan melahirkan komersialisasi pendidikan yang pasti akan berakibat hilangnya akses pendidikan tinggi bagi masyarakat miskin atau pas-pasan dan pendidikan hanya dapat diakses oleh orang-orang kaya. Ini merupakan salah satu tugas terbesar kita sebagai mahasiswa. Ketidakadilan ini harus kita rombak habis-habisan. Kitalah mahasiswa sebagai kaum intelek yang berada digaris terdepan sebagai wakil yang benar-benar memihak rakyat miskin tak berdaya agar mereka mendapat apa yang seharusnya telah menjadi hak mereka.
Peran MahasiswaPendidikan sebagai sebuah pranata sosial berfungsi melestarikan kebudayaan antargenerasi. Kebudayaan, dengan sendirinya merupakan produk interaksi sosial, di mana di dalamnya saling jalin faktor-faktor ekonomi, politik bahkan pertahanan keamanan. Masyarakat bukan sebuah benda mati yang statik, tetapi sistem yang dinamik. Kampus dan sekolah berada di tengah masyarakat yang bergejolak (kadang evolusioner, namun tak jarang muncul dalam bentuk letupan-letupan revolusi).Maka pendidikan tidak mungkin lari dari persoalan-persoalan sosial, betapapun diklaim bahwa warga kampus memiliki keunikannya sendiri sebagai bagian dari komunitas intelektual. Jurang yang memisahkan antara masyarakat yang menderita dengan lembaga-lembaga elit di pemerintahan yang hidup berhedonis ria semakin hari semakin besar. Peran wakil rakyat di DPR dan sejenisnya semakin lama semakin tidak bisa diandalkan untuk mengakomodir teriakan-teriakan minta tolong dari rakyat. Tangan mereka terlalu bersih untuk terjun langsung ke lapangan dan meraih tangan-tangan yang minta tolong itu sehingga yang terjadi adalah masyarakat menjatuhkan mosi tidak percaya kepada pemerintah khususnya wakil rakyat secara tidak tertulis di dalam pikiran mereka masing-masing.Mahasiswa sebagai kaum yang dipandang intelek mempunyai peran sangat vital saat ini. Mahasiswa dianggap lebih memahami dan lebih mengerti tentang apa yang terjadi di masyarakat secara jelas karena mahasiswa melakukan interaksi secara langsung dan intensif dengan masyarakat ± dan bahkan lebih dari wakil rakyat sendiri. Perbedaan motivasi yang ada di kalangan mahasiswa dengan wakil rakyat pun menunjang ini semua ketika wakil rakyat terus berjuang memperkaya diri agar modal mereka selama kampanye kembali.Mahasiswa berpotensi membawa kesadaran politik kepada rakyat melalui aksi-aksi massa dan gerakan bawah tanahnya.Namun di era ini ada hal yang jauh lebih intelek dan lebih efektif untuk membawa tongkat estafet suara penderitaan rakyat kepada telinga pemerintah, yaitu dengan dialog secara langsung kepada elit pemerintahan. Bukan hal yang baru lagi jika kita melihat banyak program dimana mahasiswa dan para anggota elit pemerintah dipertemukan dalam diskusi dan dialog; baik itu dalam seminar, dialog, bahkan debat di media-media seperti radio terutama televisi. Intelektualisme mahasiswa bisa disalurkan dengan begitu baik jika dibandingkan dengan aksi terjun ke jalan dengan tujuan yang tidak begitu jelas dan dengan jumlah pendemo yang seadanya. Terlebih jika aksi radikal disertakan dalam setiap aksi demo yang justru akan mengurangi citra intelektual mahasiswa di mata masyarakat. Intensitas aksi demo yang terlalu sering pun akan semakin mengurangi makna itu. Dengan mempertimbangkan itu semua, akan lebih baik jika demonstrasi dilakukan ketika semua jalan telah ditempuh namun tetap gagal dan demonstrasi itu dilakukan dengan serentak dan besar-besaran.
Pendidikan yangsemakin lama semakin tidak peduli kepada rakyat kecil tidak bisa dibiarkan menelan kita. Kontrol dari mahasiswa dan masyarakat luas harus dihidupkan. Kita sebagai mahasiswa sudah seharusnya untuk selalu kritis. Kita tidak boleh selalu berpangku-tangan dan menikmati apa yang ada tanpa peduli jika ada yang salah. Kita sendiri sadar bahwa pendidikan jelas bukan komoditas produk yang bisa dijual untuk mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Esensi dari pendidikan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan untuk semakin memeras rakyat. Pendidikan tanpa perlu diragukan adalah jalan menuju cita-cita NKRI terutama untuk mensejahterakan rakyat. Mari kita perjuangkan apa yang menjadi hak kita sebagai bangsa Indonesia untuk terus maju menjadi negara yang terdepan.Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara adidaya. Kita hanya butuh sedikit waktu lagi untuk mencapainya.
Hidup Mahasiswa Indonesia! Merdeka Indonesia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar