Rabu, 29 Juni 2011

Tradisi Ojhung

Ojhung pada dasarnya berkembang disejumlah Jawa Timur, khususnya daerah-daerah pesisir dan wilayah yang masyarakatnya mempunyai latar etnis Madura. Ojhung sebenarnya merupakan Seni Bertarung yang menggabungkan unsur-unusr seni tari, olah raga, dan mungkin juga seni bertempur. Ojhung ini menjadi bentuk atraksi seni, sebagaimana atraksi seni lainnya yang berkembang di Madura, sangat diminati oleh masyarakat, khususnya masyarakat di pedesaan.
Sebagai seni tarung, ojhung bukan sekedar mengandalkan kekuatan fisik, tapi juga dibutuhkan kekuatan lain yaitu kekuatan kanoragan yang menjadi sarat agar petarung jadi kebal. Ujhung biasanya dilaksanakan di tempat terbuka, yaitu di tenah lapang, tegalan dan alun-alun yang mampu menyedot penonton cukup besar.
Permainan ini biasanya dilaksanakan pada sore hari dengan menampilkan dua petarung yang berlawanan, dengan komposisi petarung berada ditengah-tengah sementara para penonton mengelilinginya. Sedang media atau senjata yang digunakan yaitu sebatabg rotan yang dikepang sepanjang sekitar 110 cm, dengan lilitan sisal (serat nanas) nantinya sebagai pegangan dalam lilitan pada jari manis dan jari tengah, disebut lopalo. Hal ini sebagai tanda bahwa petarung dinyatakan kalah, apabila rotan terlepas dari tangan, namun tidak jatuh karena tali sisal masih melekat.
Sebagai pelindung yang dikenakan (semacam topeng) di kepala, disebut bukho’, berbentuk kerucut dan terbuat dari kain goni, dan didalamnya dilapisi serat pohon kelapa dan dilengkapi sebilah kayu sebagai penahan pukulan apabila menyentuh kepala, dan berfungsi untuk membelokkan pukulanyang diarahkan ke kepala.
Petarung sebenarnya tidak ada batas usia, tapi umumnya mereka terdiri dari kaum muda seusia remaja. Menghadapi permainan peserta telah siapa dengan berbagai peralatannya, sepotong kain dililitkan di lengan dan bergelangan  kiri lalu dilapisi lilitan tali rotan sebagai penangkis (tangkes), beberapa sarung lain digulung sebagai sorban dibawah alat pelingdung kepala, dan sepotong sarung lagi diikatkan pada pinggang. Selain itu pemain atau petarung bertelanjang dada dan tanpa alas  kaki, praktis petarung hanya bercelana pendek.
Namun di beberapa wilayah penggunaan alat pengaman yang melapisi kulit tubuh petarung memang beda. Ada seluruh tubuh ditutupi karung goni, hal ini menghidari luka tubuh bila nantinya kena pukul, meski sasaran pukul bagian belakang (punggung). Biasanya hal ini dilakukan oleh petarung di wilayah tapal kuda dan daerah pesisir Jawa Timur lainnya.
Namun untuk wilayah  Pulau Madura, khususnya Kabupaten Sumenep bagian timur daya, permainan ojhung cenderung menggunakan tubuh terbuka, hal ini untuk menunjukkan. Dalam pertarungan hanya berlangsung beberapa menit atau sekitar 5 – 7 menit. Pasangan selanjutnya juga bersiap-siap bertarung di sekitar arena yang berukuran 3 x 4  m, dalam bentuk lonjong atau oval. Demikian pula penonton, mengelilingi arena tersebut dari usia tua, muda sampai anak-anak. Dan untuyk penonton perempuan biasanya berada tempat terpisah tidak jauh dari arena pertandingan.
Para petarung ojhung sebelumnya diperiksa berat dan tinggi badannya, sebagaimana pertandingan tinju, dan setelah sesuai dengan aturan mereka mengenakan pakaian pengaman yang telah disipkan oleh official masing-masing, lalu sekujur tubuh yang telanjang diolesi minyak. Menjelang acara dimulai, masing-masing petarung menempati posisi sudut arena dan kemudian dikomendani oleh wasit untuk memulai pertarungan.
Dalam pertarungan, wasit sebagai penengah dan menyampaikan  pesan-pesan sekitar aturan permainan di posisi tengah arena. Dalam situasi inikeduia pemainan mengambil posisi berdiri bertolak belakang, punggung ketemu punggung. Dan saat itulah wasit menyerahkan “senjata” pemukul dari rotan yang disiapkan sebelumnya kepada masing-masing petarung. Dalam posisi seperti itu ke dua petarung mulai menyiapkan kuda-kuda dengan kaki terbuka. Dan kemudian kedua petarung membalikkan tubuh berhadap-hadapan. Setelah dinyatakan siap, wasit memberi tanda  memulai, dan  saat itu petarung biasanya mengambil posisi mencari peluang untuk memukul punggung lawan. Hal ini tentu sangat sulit untuk menembus sasaran, karena di lengan kirinya dengan cepat pula menangkis pukulan lawan yang dibaluti kain sarung atau bahan lainnya.
Pertandingan biasanya berlangsung tidak terlalu lama, beberapa detik kemudian sang wasit melerainya ketika bila posisi petarung dianggap sama-sama tidak bergerak, namun untuk kemudian sang wasit “mengadu” kembali sampai batas runde yang ditentukan.
Telah menjadi kelaziman bagi sebagian besar masyarakat Madura, setiap kali terjadi pertandingan atau pertarungan yang dilombakan, kadang tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik saja tidak cukup. Karena dibalik itu peran “dhukon”, yaitu orang yang dianggap pintar turut serta mendorong dengan kekuatan supranaturalnya. Orang-orang macam itu mendorong petarung pilihannya menyambung kekuatan dengan cara samar, sehingga tidak heran ketika  petarung memukul lawan yang dipastikan tepat sasaran ternyata meleset. Bahkan bisa jadi alat pemukul tiba-tiba patah. Atau ketika alat pukul beradu dengan tangkisan lawan kemudian mengeluarkan percikapan api. Maka tak heran di sekitar arena itu terasa  bau minyan atau dupa.
Hal itu, bagi masyarakat Madura merupakan sesuatu yang wajar. Bukan hanya pada pertarungan ojhung, dalam permainan lainnya, yang merupakan pertandingan, seperti bal budi , sejenis tradiri Madura yang menggunakan bola kasti dan lainnya, termasuk juga pertnjukan loddrok misal, sejenis tonil yang semua pemainnya diperankan oleh laki-laki, hal berkaitan ilmu diluar permainan yang mengarah pada sihir kerap berlangsung. Dalam loddrok, apabila terjadi pertunjukan dengan waktu yang bersamaan dengan jarak yang tidak begitu jauh, maka tidak heran bila ternyata ditempat “musuh permainan” terjadi hujan, atau tiba-tiba angin besar datang, atau sound sustem tiba-tiba tidak berbunyi, atau bahkan ada pemain yang jatuh  pingsan. Ini merupakan pola yang dibuat oleh kekuatan musuh yang sama-sama merebut penonton banyak. Atau alasan lain, yang menjadi rahasia mereka.
Namun dalam perkembangannya, kasus semacam ini jarang dan sudah tidak terjadi lagi, karena “dhukun-dhukun” macam itu sudah tidak difungsikan, karena barangkali dari kesadaran pendidikan dan pemahaman agama (Islam) mulai banyak dipahami.
Dalam arena pertarungan ojhung, tentu para penonton disekitar saling memberi dukungan dengan teriakan-teriakan. Teriakan-teriakan itu makin gemuruh ketika salah seorang lawan dikalahkan. Dalam kondisi semacam itu, tidak menutup kemungkinan terjadi ketersinggungan antar pendukung, dan bisa jadi pula dalam suatu kerumuman terjadi pertengkaran mulut sampai fisik. Dan saat itulah, sebagaimana banyak beberapa hal tentang tradisi Madura diungkap dalam blog ini, muncullah yang namanya carok, antara lain dilatari oleh ketersinggungan dan harga diri.
Peristilahan ojhung sebenarnya tidak terlalu teknis, tergandung dari wilayah atau daerah masing-masing maen ojhung berlangsung . Bahkan di Pulau Madura sendiri, antar satu daerah dengan daerah yang lain terjadi perbedaan, apalagi dalam perkembangannya ke wilayah luar Madura.
Namun yang jelas, ojhung sebagai ritus tahunan yang diselenggaran menjelang musim hujan tiba. Tapi perkembangannya sudah mulai kearah volume bertambah dalam event permainan ojhung,  yaitu kerap diselenggarakan dalam memperingati hari-hari nasional, atau 17-agustusan. Bahkan ada pihak panitia penyelenggara permianan ojhung dengan tujuan komersial, dan penontonnya tentu akan ditarik bayaran adat berkarcis. Semua pelaksanaan ojhung bergantung dari  maksud dan tujuannya. Kecuali kepentingan ritual, ojhung kerap banyak disalahgunakan
Apapun alasan penyelenggaraan, baik dengan tujuan profan, komersial, ritual dan sebagai hiburan, ohjung selalu dilaksanakan di tempat terbuka. Sang pemenang adalam pemain atau petarung yang dapat melukai lawan, tidak ada dendam. Konon, pertarungan ojhung pada jaman dulu dipertandingan tanpa adanya wasit, sehingga permainan ojhung tidak akan berhenti selama salah satu lawan tidak dapat dikalahkan. Karena menurut keyakinan mereka, luka akibat pukulan dari pertarungan ojhung, memiliki nilai dan arti tersendiri bagi petarung, meskipun dia dalam posisi kalah. Karena tanda luka itulah, menunjukkan bahwa dia telah melakukan suatu pertarungan yang menjadi kebanggaan bagi laki-laki Madura. Ia disebut-sebut sebagai pejantan, dan kebanggaan bagi dirinya.
Asal Mula Ojhung
Menurut hasil penelitian Helene Bouvier dalam bukunya “Lebur!”,  Ojhung pada  awalnya, konon,  ada kisah mengenai empat bersaudara yang mencari sumber air. Ketika air mulai berkurang, mereka bertarung satu sama lainnya (maen ojhung) diatas sebuat bukit, dan salah satu diantara mereka menjadi wasit. Makam keramat yang terakhi ini, dikelilingi oleh makan ketiga saudaranya, dan masih dihormati sekali setahun sebagai bujhu’ oleh ketika saudaranya. Selain itu , disumur yang ditemukan empat saudara itu, acara maen ojhung diselenggarakan sekali setahun.
Makam yang terletak di Batuputih Kabupaten Sumenep itu, menurut seorang ahli ojhung dari Batuputih konon juga diadakan di Kabupaten di Madura lainnya, meskipun dengan aturan-aturan yang sedikit berbeda. Dengan kata lain, bisa jadi cikal bakal permainan ojhung berasal dari Batuputing dan berkembang kewilayah-wilayah Madura yang beretnik Madura.
Agaknya peristiwa ojhung di daerah itu selalu berkaitan dengan ritus pemanggilan hujan atau berkenaan dengan air. Ojhung kini  tetap memenuhi tujuan kolektif; meski berfungsi sebagai hiburan saja. Dan kemungkinan ojhung dimasa lalu pernah berfungsi sebagai kegiatan perang-perangan, berkat latihan fisikal dan mental yang menyertainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar